Pagi, usai sarapan di Kota Binjai yang terkenal dengan rambutannya, tepat saat umat Nasrani merayakan Natal 2012, kami bertujuh pun berangkat. Tujuan kami adalah Bukit Lawang yang berada di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat.
Bukan pertama kali kami mendatangi tempat ini. Sebuah kawasan yang terkenal dengan obyek wisata sungai dan dijadikan kawasan konservasi Orang Utan (Pongo Abelii) Sumatera ini. Kami hanya ingin melihat kembali lokasi skala internasional yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pasca banjir bandang yang meluluhlantakkan dan mengorbankan banyak jiwa pada 2003 silam.
Kalau dari Kota Medan, Bukit Lawang berjarak sekitar 90 kilometer dari titik nol Kota Medan yaitu Kantor Pos Besar. Ada bus dan taksi sejenis L-300 trayek Medan-Bukit Lawang di Terminal Pinang Baris Medan yang bisa mengantar pengunjung ke tempat ini dengan ongkos sekitar Rp 15.000.
Dengan jarak tempuh hampir tiga jam jika kondisi jalan baik, sepertinya akan menjadi hal menyenangkan untuk dilewati. Dengan mengendarai mobil pribadi atau sepeda motor, pengunjung akan sampai lebih cepat karena waktu terpangkas hampir satu jam lebih.
Namun hal yang tidak mengenakkan adalah dua pintu masuk mengutip retribusi masuk dan parkir. Seorang pengemudi sepeda motor mengatakan, mulai dari pintu pertama, kedua sampai parkir, dia menghabiskan biaya sebesar Rp 15.000.
Keresahan pengunjung ini diamini Genta (34) seorang pemilik kios yang menjual suvenir khas Bukit Lawang. Ditemui di depan kiosnya yang tepat berada di mulut gua, tempat jalur masuk dulu sebelum banjir, ia berkata apa yang dialami pengunjung itu harusnya disikapi dengan ketegasan pemerintah daerah
"Tidak seperti ini, pengunjung bingung dan keberatan. Ini berdampak pada peningkatan jumlah tamu. Apalagi tidak ditunjang dengan fasilitas umum yang memadai seperti lampu jalan atau tempat ibadah. Pemda harusnya menyikapi ini dengan ketegasan," katanya.
Ia mengungkapkan pasca banjir bandang, banyak janji-janji pemerintah daerah kepada korban banjir yang tidak terealisasi sampai hari ini. Begitu pula dengan program-programnya.
Rumah bantuan yang diberikan kepada korban banjir banyak yang tidak ditempati atau malah dijual dengan harga murah karena dianggap tidak layak. Fasilitas umum yang dibangun seperti jembatan penyeberangan dan lampu penerangan jalan tidak layak bahkan tak berfungsi.
"Kalau tempat ini dikenal baik, aman, dan murah, maka kunjungan akan meningkat. Ekonomi masyarakat jadi terbantu dan pengangguran berkurang. Ini, lampu jalan saja tak hidup. Pengunjung kalau ingin berjalan-jalan malam jadi takut," tambahnya.
Tak sabar dengan gerak lambat pemerintah, banyak pengusaha lokal seperti pemilik penginapan membangun jembatan penyeberangan sendiri untuk tamu-tamu yang menginap di tempatnya. Seperti yang dilakukan Penginapan Yusman, Hotel Sibayak Leuser, dan Ecolodge di belakang Penginapan Rindu Alam.
Keadaan ini sebenarnya berdampak pada harga diri bangsa karena Bukit Lawang menjadi tujuan utama turis mancanegara jika menginjakkan kaki di Kota Medan. Beberapa pemandu wisata mengaku gelagapan saat tamu yang dibawanya menanyakan ketidakpedulian pemerintah daerah ini.
Wisata sungai
Setelah memarkirkan kendaraan, kami disambut suara deru sungai. Kemudian deretan kios penjual suvenir, rumah makanm dan buah di sepanjang jalan masuk. Pun aneka penginapan siap menampung wisatawan domestik dan maupun asing.
Arus sungai yang berair jernih inilah yang dijadikan pengunjung menikmati sensasi tubing dan rafting. Aktivitas bertemu dan memberi makan pada orang utan menjadi keharusan jika datang tempat yang juga terkenal dengan angin bahorok ini.
Kebetulan waktu kedatangan kami bertepatan dengan hari libur Natal, maka pengunjung terlihat sangat ramai. Mereka datang dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kondisi ini akan berlangsung sampai malam pergantian tahun nanti.
Seluruh penginapan sudah penuh untuk tahun baru. Penginapan tersisa tinggal camping ground alias berkemah jika para tamu masih memaksakan datang dan menikmati suasana dengan alternatif sedikit berbeda.
Di sini, harga kamar per malam rata-rata Rp 150.000 sampai Rp 400.000 per malam. Untuk yang suka menikmati alam sambil berkemah, harga per orang di camping ground dikutip Rp 5.000 per malam untuk biaya kebersihan.
Keterbatasan waktu membuat kami tidak sempat melakukan "meeting and feeding" orang utan. Tambahan lagi, perahu kayu berkapasitas empat orang yang berfungsi penyeberangkan para tamu untuk sampai ke lokasi pengamatan sedang rusak.
"Kita harus memutar lewat darat kalau mau ke sana, perahu sedang rusak. Tapi belum tentu bisa bertemu orang utan karena sekarang sedang musim buah. Kalau tak musim buah, gampang menemui mereka karena pasti turun ke lokasi-lokasi penduduk mencari makan," kata seorang pemandu.
"Karena tempat rehabilitasi sudah pindah, kita hanya bisa melihat orang utan yang hidup liar dan itu tak tentu waktunya. Faktor lucky (keberuntungan) saja saat ini untuk melihat orang utan," tambahnya.
Begitulah, Bukit Lawang tak lagi identik dengan pusat rehabilitasi orang utan, sudah berganti menjadi daerah pengamatan orang utan. Ekosistem Bahorok juga sudah tidak lagi menampung orang utan yang baru datang.
Mereka disebar ke hutan-hutan di kawasan Tapanuli atau Batang Toru, Tangkahan yang masih di kawasan TNGL. Atau, ke Bukit Tiga Puluh di Jambi untuk menyebarkan dan menjaga populasi primata kebanggaan Indonesia yang sangat dilindungi namun nyaris punah.
Seorang pengunjung asal Kabupaten Asahan mengatakan ketidakyakinan dirinya akan dapat melihat orang utan sepuluh tahun lagi jika kepedulian semua pihak khususnya generasi muda sangat minim seperti saat ini. Hal yang sama dikatakan turis asal Swiss yang sudah 12 kali mengunjungi Bukit Lawang itu, mengatakan tempat ini terus mengalami perubahan alam dan suasana ke arah yang lebih buruk.
"Bukit Lawang tidak seperti dulu lagi, sekarang sangat ramai dan tidak alami lagi, apalagi setelah banjir bandang. Sawit menjadi musuh utama kelestarian hutan dan orang utan, sangat menyedihkan. Pemerintah Indonesia sepertinya tidak perduli dengan semua ini," katanya dengan Bahasa Indonesia yang terpatah-patah sambil menunjukkan foto-foto Bukit Lawang dulu dan kini yang menjadi koleksinya.
Kami memutuskan menginap satu malam di penginapan yang dikenal peduli lingkungan, Ecolodge milik Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), tepat di belakang Penginapan Rindu Alam. Sekali menyeberangi titi gantung dari papan dengan kapasitas empat orang bergantian, kami sudah disambut deretan kamar-kamar berkonsep ekowisata dan natural.
Desain bangunan, makanan, hingga sampah di area penginapan ini semuanya mengandung unsur dan muatan pendidikan lingkungan sehingga tempat ini di dominasi pengunjung asing. YEL juga memberi pendidikan lingkungan melalui Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bahorok pada penduduk sekitar dan terbuka untuk umum.
PPLH Bahorok menjadi pusat pengetahuan yang dapat menumbuhkan rasa kepedulian kita pada lingkungan hidup dengan cara mengamati beberapa trail kekayaan hayati. Beberapa paket program PPLH seperti wisata hutan tropis, wisata ecotrail dan pengamatan gua, serta wisata lintas kampung.
Paket program pendidikan lingkungan hidup seperti mendaur ulang kertas, pembuatan kompos, kerajinan dari karton bekas, serta gathering dan fun games seperti traditional rafting atau tubing, dan program practice english atau belajar bahasa Inggris dengan turis..
"Kita juga dapat belajar bagaimana mengelola sampah organik dan anorganik. Lalu praktek menanam dan memanen hasil pertanian organik di Ecofarming Center," kata Direktur Pendidikan Farina Yasmine Nasution, didampingi Roma Siregar selaku Field Coordinator Environmental Education (Pendidikan Lingkungan Hidup) di PPLH Bahorok.
Di Ecofarming Center seluas 1,8 hektare yang juga menjadi tujuan wisata peduli lingkungan milik YEL, berjarak sekitar 1 kilometer lebih dari Ecolodge. Kami kemudian diajak melihat-lihat kebun sayur dan buah dengan pupuk organik.
Koeswanto selaku Supervisor Garden dan Zefri Candra sebagai Asisten Manager PPLH Bahorok ini menjelaskan pada kami satu persatu cara menanam, khasiat sayur dan buah organik tersebut. Menurut mereka, sebagian hasil panen untuk kebutuhan restoran di Ecolodge. Masih sempat Koeswanto menjelaskan pada kami bagaimana cara membuat kompos dari sampah tanaman dan sampah rumah tangga yang ternyata mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar