Dengan menganalisa data dari Organisasi Pertanian dan Makanan PBB (United Nations Food and Agriculture Organization), Lian Pin Koh dan David S. Wilcove dari Princeton University menemukan bahwa 55-59 persen dari ekspansi kelapa sawit di Malaysia dan paling tidak 56 persen di Indonesia terjadi dengan hutan sebagai korban. Karena perkebunan kelapa sawit secara biologis menyengsarakan hutan primer dan sekunder, para peneliti merekomendasikan untuk melarang ekspansi di masa depan pada lahan tanaman yang masih ada dan habitat yang terdegradasi.
Perkebunan kelapa sawit dan hutan yang ditebangi di Borneo. Perkebunan kelapa sawit secara biologis depauperate bahkan dibandingkan denngan hutan yang ditebangi habis-habisan menurut penelitian mengenai burung dan kupu-kupu. |
“Analisis kami mengindikasikan bahwa perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia telah menggantikan hutan dan, pada tingkat yang lebih rendah, lahan tanaman yang telah ada,” tulis mereka.
Menggunakan data tentang burung dan kupu-kupu yang menunjukkan bahwa konversi dari hutan menjadi produsen kelapa sawit menurun dengan curam pada kekayaan spesies, Koh dan Wilcove mengatakan bahwa ekspansi dari perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia berdampak negatif pada keanekaragaman hayati regional.
Melihat bahwa permintaan minyak kelapa diharapkan untuk meningkat secara dramatis di beberapa tahun ke depan, para penulis menyarankan bahwa ekspansi kelapa sawit di kedepannya akan dibatasi pada lahan-lahan yang telah diubah menjadi pertanian atau telah terdegradasi dengan berat. Bahkan hutan yang telah ditebangi – yang menyokong jauh lebih tinggi keragaman biologis dibanding perkebunan – sebaiknya tidak digunakan untuk perkembangan kelapa sawit, mereka menyimpulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar